Hindari Unsur Nepotisme, Jadi Alasan PAN Setuju Caleg Terpilih Ditentukan Suara Terbanyak

Wacana tentang penentuan caleg terpilih dengan menggunakan sistem proporsional tertutup kembali mengemuka setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) berkunjung ke PDI Perjuangan. Disebutkan bahwa sistem ini akan menghindari paktik transaksional antara caleg dan masyarakat.

Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengupas tuntas perdebatan panjang tentang sistem proposional daftar tertutup yang menggunakan nomor urut dan proporsional daftar terbuka yang didasarkan suara terbanyak. Perdebatan ini sudah mulai sejak 2004 hingga sekarang masih ramai diperbincangkan.

“Masing-masing partai politik yang lolos parliamentary threshold 4 persen di Senayan terbagi dalam dua sikap, setuju nomor urut dan tidak setuju. Masing-masing dengan argumentasi yang berbeda,” urainya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (16/10).

Viva Yoga mengurai bahwa dirinya sudah pernah dua kali menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) revisi UU Pemilu di DPR RI. Materi perdebatan klasik selalu dilakukan Pansus. Yaitu tentang sistem penentuan caleg terpilih, juga tentang sistem pemilu, alokasi kursi per dapil, metode penghitungan suara menjadi kursi, parliamentary threshold, dan presidential threshold.

Adapun dasar pemikiran partai politik yang setuju dengan sistem nomor urut, antara lain, peserta pemilu legislatif adalah partai politik, bukan caleg. Maka partai politik memiliki hak otoritas untuk menentukan calegnya.

Kedua, agar partai politik menjadi kuat, tidak terdistorsi oleh caleg terpilih, karena yang bersangkutan dicalonkan oleh partai politik, tidak atas nama pribadi caleg. Ketiga, menghilangkan politik uang karena tidak ada proses kanibalisme di internal partai politik.

“Keempat, memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui penguatan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi,” urainya.

Sementara partai politik yang tidak setuju nomor urut, tetapi setuju suara terbanyak, seperti PAN berpendapat bahwa sistem ini bisa menghilangkan unsur nepotisme di partai politik. Jangan sampai ada bias subyektif karena kedekatan dengan pimpinan partai untuk menempatkan orang-orang tertentu di nomor peci (nomor satu), dan orang yang berseberangan dalam hal kepentingan diberi nomor sepatu (nomor akhir).

“Kedua, membangun sistem keterpilihan secara adil. Siapa caleg yang bekerja keras maka hasilnya akan sesuai dengan perjuangannya di dapil, meski caleg tersebut nomor sepatu, karena mendapatkan suara terbanyak maka yang bersangkutan berhak atas kursi tersebut,” urainya.

Sementara alasan terakhir adalah mendekatkan caleg terpilih dengan konstituen karena telah terbentuk ikatan sehingga aspirasi masyarakat dengan cepat dapat tertampung dan diperjuangkan menjadi kebijakan.

“Saat ini revisi UU Pemilu sudah dikeluarkan dari program legislasi nasional (Prolegnas). Jika ada rencana merevisi ya setelah pemilu 2024,” tutupnya.(Sumber)