Aneka Ria Safari Jokowi

Layar hitam putih TVRI zaman baheula lebih semarak dengan acara Aneka Ria Safari TVRI. Acara yang ditampilkan pada malam minggu itu lebih beragam. Tak hanya sekadar berita yang bersumber dari pemerintah. Segmentasi penonton mencair. Anak-anak sekolah bisa lebih berkerumun. Musik dankdut hadir.

Bak TVRI era itu, sebentar lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal memasuki layar hitam-putih. Seperti mantan presiden. Tak lagi berwarna, sebagaimana terlihat ketika menjalankan tugas dan tanggungjawab kenegaraan.

Terdapat Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam layar hitam-putih itu. Sekalipun Mega dan SBY masih aktif di dalam tubuh partai politik, layar itu hanya berubah menjadi merah atau biru. Itupun sesekali saja. Seberapapun kerasnya usaha para anggota partai memberi ragam warna, tetap saja dikalahkan dengan warna lain yang berasal dari aktivitas kehidupan warga negara.

Sebagai Panglima Sang Gerilyawan Jokowi, organ resmi relawan yang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, saya menyadari betapa keterlibatan kami sangat singkat. Hanya pada masa kampanye saja. Sedari awal, kami justru memandang fase Jokowi selesai menjalankan tugas kenegaraan, jauh lebih penting dimasukkan dalam Ikrar Panca Bakti, selain masa memerintah.

Seseorang disebut negarawan, tatkala mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan upaya guna kepentingan bangsa dan negara. Dan paham pula waktu untuk berhenti, atas dasar kepercayaan kepada generasi lain yang sedang menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Tak tergantung kepada orang per orang, termasuk dirinya sendiri.

Tentu saja, tak ada pemimpin yang mau kehilangan legacy ketika memerintah. Pun, lebih sedikit lagi yang melihat legacy ketika memimpin, tak lagi diteruskan oleh pemimpin berikutnya. Sekalipun kian disadari, dalam turbulensi demokrasi elektoral, letak pembeda antar pemimpin adalah perbedaan itu sendiri. Sehingga, berganti kebijakan sudah menjadi suatu keniscayaan.

Pada saat Jokowi selesai bertugas, yakni tanggal 20 Oktober 2024 nanti, warga negara beralih tuntutan dan perhatian kepada siapa yang menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan yang terpilih. Janji kampanye bakal lebih diingat, sembari menjahit luka-luka di dalam masa kampanye.

Jokowi?

Langsung menjadi senior citizen. Kepala keluarga dalam keluarga besarnya. Pensiun. Tentu sesekali hadir dalam bentuk buku, pidato, atau kuliah umum, baik di dalam, dan terutama di luar negeri. Jokowi bisa saja meluaskan pengaruhnya ke luar batas-batas negara, sebagaimana pernah dilakukan oleh Lee Kuan Yew dan Henry Kissinger. Berperan dalam tatanan dunia yang kini sedang berkecamuk.

Tentu, boleh saja ada kekuatan politik di dalam negeri yang berupaya untuk menarik ketokohan Jokowi, bagi kepentingan politik nasional. Sah-sah saja. Namun, kita butuh sosok yang beyond the politician. BJ Habibie pernah menjalankan sosok seperti itu. Juga Abdurrahman Wahid. Walau singkat, tetapi memberi pengaruh pada penguatan sendi-sendi dan tulang-belulang kebangsaan dan kenegaraan yang belum kokoh.

Justru sangat disayangkan, apabila Jokowi terlibat lagi dalam urusan dukung-mendukung blok-blok politik. Biarlah itu kerjaan para relawan atau mantan relawan yang belum berhasil move on. Jauh lebih baik juga, apabila tahapan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, justru dimulai di halaman Istana Negara. Jokowi yang melepas kandidat-kandidat yang berhasil maju, mendapat dukungan partai-partai politik. Kalau perlu, ada semacam tour of area di Istana Negara, termasuk ke lorong-lorong yang berisi lukisan-lukisan karya maestro Indonesia.

Selain itu, simbol atau jargon Jokowi silakan dipakai oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden manapun. Tentu, bagi yang mau menggunakan. Tak perlu ada larangan. Betul-betul Aneka Ria Safari Jokowi. Tetapi dalam layar yang berwarna. Tak hitam putih.

Bukankah dulu ada tagline penting kalangan relawan: Jokowi adalah kita?

Jakarta, 15 Februari 2023

Oleh
Indra J Piliang
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara