News  

Ketum Ikatani UNS Optimis RI Layak Jadi Pemimpin Dunia di Sektor Pangan

Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Pertanian (IKATANI) Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS) 2023-2027, Dina Hidayana, menyampaikan bahwa sudah saatnya Indonesia berani menempatkan kebijakan pangan sebagai prioritas utama dan pertama dalam pembangunan nasional.

Hal tersebut diutarakan Doktor Ilmu Pertahanan yang mengkaji keterkaitan pangan dan pertahanan negara ini saat Dies Natalis ke-47 Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Musyawarah Nasional dan Reuni Fakultas Pertanian UNS pada Sabtu, 18 Maret 2023.

“Bukan sekedar merespon ancaman krisis pangan yang telah dilontarkan beberapa pihak belakangan ini yang melihat negara-negara yang menggantungkan kebutuhan pangan pada negara lain ditengarai akan mengalami krisis multidimensi,

namun lebih dari itu Indonesia akan kehilangan jati diri sebagai negara agraris dan produsen pangan yang cukup disegani. Negara eksportir yang telah bergeser menjadi salah satu importir (pangan) terbesar didunia. Ini merupakan hal serius dan fundamental yang harus segera dibenahi sejak sekarang, tidak bisa ditunda lagi,” tutur Dina Hidayana.

Selaras dengan hasil riset disertasi Ketua Depinas SOKSI yang berjudul “Optimasi Kebijakan Sektor Pangan dalam Memperkokoh Sektor Pertahanan Negara” diketahui bahwa pangan bukan sekedar pelepas lapar dan dahaga, namun berfungsi juga sebagai geoekonomi dan geopolitik yang memperkuat pertahanan suatu negara dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.

Dina, perempuan satu-satunya penerima beasiswa Doktoral Universitas Pertahanan RI TA 2020/2021 melalui teknik mixmethods, salah satunya Computable General Equilibrium (CGE) dibawah bimbingan Promotor Profesor Purnomo Yusgiantoro menemukan proyeksi bencana krisis ekstrim domestik 32 tahunan yang akan kembali terulang di 2030, bila pemerintah tidak serius membenahi sektor pangan sejak sekarang.

Diketahui tahun 1966 masa pemerintahan Soekarno, Indonesia mengalami hiperinflasi tertinggi sepanjang perjalanan Indonesia, yakni lebih dari 600%. Kemudian tahun 1998 berulang krisis serupa meski tidak sebesar masa orde lama, yakni melampaui 70%. Melalui simulasi pesimis, jika sektor pangan mengalami degradasi sekitar 10% maka laju inflasi diprediksi akan mencapai 170% di tahun 2030 pada masa puncak bonus demografi,” papar Dina.

Dina juga sepakat bahwa pengabaian terhadap prioritas pangan domestik dan penguatan petani akan mendorong suatu negara pada ketergantungan akut pada negara atau bangsa lain, yang ini bukan saja akan merusak sendi ekonomi, namun tatanan struktural secara umum di semua sektor kehidupan.

“Pada akhirnya, negara takkan pernah bisa mengklaim dirinya maju dan hebat, apabila tidak berdaya atas tata kelola pangan yang berbasiskan daya dukung dan kearifan lokal. Kekuatan sumber daya nasional harus menjadi tulang punggung utama dalam pergerakan kemajuan bangsa, sehingga kita benar-benar berdaulat atas kemerdekaan negeri ini,” kata salah satu Srikandi Partai Golkar ini.

Lebih lanjut, dalam pengalaman Dina sebagai aktivis politik dan sosial kesejahteraan masyarakat berpendapat tidak mustahil optimisme mengenai peluang dan tantangan Indonesia yang memiliki dua musim dengan keluasan wilayah memadai, SDM mumpuni, kekayaan biodiversitas dan jalur maritim strategis serta berada di lintas khatulistiwa sebagai daya tawar yang mampu meningkatkan efek gentar (detterent effect) bagi negara-negara, khususnya sub tropis yang memiliki banyak kendala dalam pengusahaan pangan.

Kajian Dina menunjukkan bahwa pada dasarnya Indonesia hanya perlu percaya diri untuk mampu bersaing dan menjadi pemain penting dalam pertarungan hegemoni dunia, amanah konstitusi sebagai pondasinya.

“Indonesia dalam konteks geopolitik, butuh kepiawaian untuk menjadi pemimpin dunia di sektor pangan. Keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki Indonesia, perlu diakselerasi dengan penempatan kebijakan pangan dalam posisi pertama, utama dan tidak tergantikan (first elementary and permanently policy).

Sektor pangan harus berada di kelas tertinggi dalam tata kelola negara, artinya keberpihakan serius pemerintah terhadap sektor ini akan menentukan eksistensi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Tentu saja ini berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas pangan tersebut, baik sebagai bahan mentah ataupun siap makan,” jelas Dina lebih lanjut.

Berkaitan itu, Dina memperlihatkan perbedaan opsi-opsi perlakuan kebijakan pangan yang berimplikasi terhadap makroekonomi, seperti: jumlah dan kualitas SDM sektor pangan, tingkat produktivitas, tarif impor ataupun kombinasi ketiganya. Pilihan rasional untuk meningkatkan atau menurunkan opsi-opsi tersebut baik secara parsial atau kombinasi mengandung konsekuensi yang berbeda.

“Peningkatan produktivitas pangan 10%, misalnya, mampu menekan gini ratio, mengurangi kesenjangan rural-urban dan menghambat laju kemiskinan. Sementara opsi penguatan SDM sektor pangan mampu menekan laju inflasi dan tingkat pengangguran. Kombinasi multishock ditengarai memberi dampak yang paling signifikan terhadap perubahan,” ungkapnya

Maka, ancaman krisis pangan, kontemplasi era pandemi dan konflik Rusia-Ukraina telah mengingatkan seluruh pihak bahwa sektor pangan harus menjadi prioritas yang mendesak untuk segera menjadi bagian yang utama dan terpenting dalam kebijakan keluarga, masyarakat dan negara. Ketersediaan pangan menentukan nasib generasi masa depan.

“Pemerintah Indonesia perlu lebih percaya diri dengan mengoptimalkan seluruh kemampuannya untuk menggerakkan sektor ini sebagai sektor andalan dan terdepan. Tidak ada kata terlambat, kita harus mulai pembenahan mendasar sektor pangan sejak sekarang jika tidak ingin terus dicengkeram asing ataupun larut dalam jebakan neoliberalisme yang berpotensi mengebiri kedigdayaan bangsa yang pernah berjaya sebagai produsen pangan termasyur masa lampau.

Kolaborasi astha helix, salah satunya peran strategis akademisi, perlu dilakukan secara sistemik melalui kepemimpinan yang visioner,” pungkas peneliti pertahanan dan pangan yang juga merupakan jebolan Magister Resolusi Konflik UGM ini. {golkarpedia}