Pertama, sebagaimana halnya Jiwasraya dan ASABRI, Bapindo juga merupakan perusahaan negara. Bapindo merupakan kelanjutan dari Bank Industri Negara (BIN) yang didirikan pada 1951.
Pada saat krisis ekonomi 1998, sebagai bagian dari program restrukturisasi perbankan, Bapindo, bersama dengan tiga bank milik pemerintah lainnya, yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), telah dilebur menjadi Bank Mandiri.
Kedua, sama seperti Jiwasraya dan ASABRI, skandal Bapindo juga melibatkan angka yang sangat besar, yaitu Rp 1,3 triliun. Sebagai catatan, kurs dolar waktu itu masih berada di kisaran Rp 2.000 per dolar AS.
Sehingga, jika dikonversi ke dolar, nilainya kurang lebih 650 juta dolar AS. Angka ini jauh lebih besar dari skandal Bank Duta yang terjadi pada 1990, yang kerugiannya mencapai 419,6 juta dolar AS, atau sekitar Rp 780 miliar.
Sebagai pembanding, temuan awal kerugian Jiwasraya dan ASABRI, jika dikonversikan ke dolar, nilainya kurang lebih berada di kisaran 715 hingga 978 juta dolar AS (kurs Rp14 ribu/dolar AS).
Dan ketiga, sama seperti kasus Jiwasraya dan ASABRI, dulu skandal Bapindo juga pertama kali mencuat ke permukaan bukan karena ekspose dari otoritas moneter, melainkan atas sorotan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Otoritas moneter masa itu justru cenderung menutup-nutupi kasus tersebut.
Kita tahu, kasus Jiwasraya kemarin juga mencuat bukan dari kantor OJK, melainkan dari kantor Kejaksaan Agung. Publik mulai memperhatikan kasus tersebut sesudah Kejaksaan Agung mengambil alih kasusnya dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Desember 2019 silam.
Perlu Dorongan Politik
Sesuai Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib, posisi Pansus memang jauh lebih tinggi daripada sekadar Panja (Panitia Kerja).
Fakta bahwa kasus Jiwasraya dan ASABRI pada mulanya tak diekspose oleh otoritas keuangan, menunjukkan jika pengawasan memang tidak berjalan dengan benar.
Selain Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) Sudomo, nama lain yang banyak disebut waktu itu adalah mantan Menteri Keuangan Johannes Baptista (J.B.) Sumarlin.
Pada saat kredit dikucurkan, Sumarlin memang sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan juga Ketua Dewan Komisaris Bapindo. Ia menduduki jabatan Menteri Keuangan pada 1988-1993.
Munculnya nama Sumarlin pada waktu itu jelas ironis. Apalagi, dalam Annual Meetings of World BankIMF di Washington pada 25 September 1989, ia sempat dianugerahi penghargaan sebagai Menteri Keuangan Terbaik Dunia oleh Majalah Euromoney.
Waktu itu saya kebetulan sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas George Washington. Dan pemberian penghargaan itu sempat memancing diskusi di kalangan mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang belajar di Amerika.
Selama Pelita IV (1984-1989), saat Sumarlin menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), jumlah utang luar negeri Indonesia telah melonjak porsinya.
Angka ini bahkan lebih tinggi dari porsi utang luar negeri pada awal Orde Baru, yang “hanya” 55,5 persen. Saat Sumarlin menjabat Menteri Keuangan (1988-1993), porsi utang luar negeri tak beranjak dari separuh sumber dana pembangunan, yaitu 49,1 persen.
Kajian mengenai utang luar negeri saat itu baru menjadi perhatian para sarjana dan mahasiswa Indonesia. Pelopornya adalah Sritua Arief dan Adi Sasono, yang telah menulis buku Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri, dan Ekonomi Indonesia (1987).
Dari sudut ekonomi-politik, kami melihat jika pemberian penghargaan semacam itu sarat kepentingan oligarki internasional. Meskipun, secara politis, isu utang luar negeri tak pernah merusak reputasi Sumarlin. Skandal Bapindo lah yang kemudian melakukannya.
Gara-gara kritik terhadap Menteri Sumarlin kala itu, besoknya saya ditelepon oleh Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Dr. Ir. Samaun Samadikun yang menyampaikan jika ada pejabat di Jakarta yang meminta saya dipecat dari LIPI dan sebagai PNS.
Bersih-bersih BUMN
Bisnis asuransi sosial yang seharusnya bersifat secure dan prudent, apalagi dikelola perusahaan negara, nyatanya mudah sekali mengalami penyelewengan.
Tak berlebihan jika ada yang menilai kalau negara saat ini bukan hanya telah gagal memberikan jaminan perlindungan sosial bagi warganya sendiri—sebab mereka telah memungut premi, tapi juga bahkan gagal mengelola premi yang telah dibayarkan oleh pemegang polis.
Saat kasus penyelundupan oleh direksi Garuda kemarin meruak, Kementerian BUMN sempat melontarkan slogan “bersih-bersih”. Ya, sudah saatnya memang Pemerintah membersihkan BUMN dari seluruh jenis kotoran yang selama ini telah merongrongnya.
Perusahaan negara tak boleh lagi dijadikan sapi perah kekuasaan, atau diperalat oleh minoritas-oligarkis yang dekat dengan kekuasaan.
Itu sebabnya, penyelesaian hukum yang sedang diupayakan oleh Kejaksaan Agung harus mendapatkan dorongan politik yang besar dari DPR.
Jika DPR masa Orde Baru bisa membongkar skandal Bapindo, dan memaksa beberapa orang kuat dihadirkan ke depan pengadilan, apakah DPR saat ini bisa melakukannya untuk kasus Jiwasraya dan ASABRI?
Deputi Menko Perekonomian (2000-2006)
Alumni George Washington University