Prabowo Subianto Dan Gerindra Tetap Kuat Di 2024

Gemuruh berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo itu selalu terjadi di medsos. Istilahnya hanya menjadi “Trending” (Topics).

Namun, kenyataan politik bisa berkata lain. Kurang heboh bagaimana kasus kader PDIP Harun Masiku itu di mata publik. Sangat buruk. Beberapa kali jadi “trending topic”. Sosoknya pun seperti hilang tanpa jejak. Bahkan nyaris tak terdengar dari Presiden bersuara lantang agar Harun Masiku segera ditangkap. Mungkin karena partainya sama.

Tapi sudahlah, lihat saja semua hasil survei politik yang ada sekarang. PDIP tetap juara, bertengger gagah di puncak elektabilitas parpol politik di Indonesia. Begitu juga sebelumnya dengan kasus Mensos Idrus Marham (Partai Golkar), Menpora Imam Nachrawi (PKB), Lutfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS), dan Patrice Rio Capella (Sekjen Nasdem). Keempat tokoh partai ini juga di OTT KPK. Riuh di medsos, tapi Golkar, Nasdem, PKB, dan PKS tetap bertengger sebagai Parpol papan atas.

Bagaimana dengan kasus Demokrat yang berjaya pada 10 tahun pemerintahan SBY (2004-2014), tapi elektabilitasnya turun drastis pada pemilu 2019 ? Bukankah karena banyak kadernya yang terjerat kasus korupsi, padahal sudah mengatakan tidak pada korupsi?

Benar. Tetapi ekspose kasus korupsi kader partai Demokrat yang tersohor pada saat SBY berkuasa lebih dari satu orang, bahkan terlalu banyak. Waktu itu, mulai dari anggota DPR Angelina Sondakh, Sutan Bhatoegana, Menpora Andi Malaranggeng, Menteri ESDM Jero Wacik, bahkan sampai ketua umum partai Demokrat, Bendahara Umum dan Dewan Pembinanya, yaitu Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, dan Hartati Murdaya.

Bagaimanapun toh Partai Demokrat masih tetap lolos di sepuluh besar parpol yang lolos ambang batas parlemen di Senayan. Tetapi semakin banyak ekspose kasus korupsi, maka semakin besar juga peluang turunnya elektabiltas dari parpol yang bersangkutan.

Oleh karena itu, sebuah partai politik perlu tegas dan keras kepada seluruh kadernya yang menonjol di publik agar tidak ada perbuatan korupsi atau muncul ekpose kasus korupsi lagi.

Dalam kasus korupsi, elektabilitas individu selaku kader partai sangat berbeda dengan elektabilitas partai politiknya. Sekali kader politik melakukan tindak pidana korupsi dan terekpose oleh media, maka habislah sudah elektabilitas dan kredibilitasnya sebagai figur politik.

Namun, belum tentu partai politiknya juga mengalami penurunan elektabilitas, karena ada spiral of silence yang dipercaya bahwa tidak semua kader parpol suka korupsi, bahkan sebenarnya banyak juga yang antikorupsi. Kecuali jika masyarakat akhirnya jenuh dan mual saat melihat efek demonstrasi adanya satu partai politik yang kadernya selalu muncul terjerat kasus korupsi dan terekpose terus di media.

Nah, sekarang apakah kasus OTT Menteri KKP Edhy Prabowo akan mempengaruhi dukungan publik untuk Partai Gerindra, misalnya terkait dalam perhelatan Pilkada 9 Desember 2020 yang sudah di depan mata? Belum tentu. Lihat saja nanti faktanya.

Lalu pertanyaan berikutnya yang lebih naif adalah apakah kasus OTT Menteri KKP Edhy Prabowo bisa membuat peluang Prabowo Subianto sebagai capres memudar di 2024?

KPK  sudah menyebut penangkapan Menteri KKP Edhy Prabowo terkait dugaan korupsi izin ekspor baby lobster. Setiap orang bisa saja berdalih atau berargumentasi di medsos. Tetapi secara riel politik kasus korupsi akan dipersepsikan oleh publik atau pemilih (votter) sebagai urusan dan proyek pribadi, tidak ada hubungan yang signifikan dengan muara partai politiknya.

Jangan lupa, berita negatif malah bisa menjadi berita positif tergantung bagaimana situasi darurat tersebut disikapi. Jika Prabowo dan Gerindra merespon dengan konsisten dan sikap tegas terhadap kader partai yang korupsi, maka publik pasti akan mengapresiasi.

Jika Prabowo dan Gerindra legowo KPK memproses hukum kader partainya yang terkena OTT itu juga akan menuai simpati masyarakat, sekaligus bisa menjadi contoh yang baik bagi dunia politik di Indonesia. Kasus OTT Menteri KKP tidak ada kaitan sama sekali dengan Prabowo, tetapi murni masalah dari salah satu kadernya saja. Publik akan bisa melihatnya. Simple.

Justru Prabowo Subianto bisa menjadikan peristiwa ini sebagai momentum memulihkan citra (image restoration) sekaligus mempertahankan kredibilitas Gerindra dengan tetap menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Faktanya, Edhy Prabowo juga tidak bertele-tele menyatakan maaf dan mundur, baik itu sebagai Menteri KKP, ataupun sebagai kader dan pengurus Partai Gerindra. Ini respon yang baik dan positif

Pertanyaan terakhirnya yang juga penting adalah lalu siapa pengganti Edhy Prabowo di pos Menteri KKP yang pas dari Gerindra atau untuk posisi lain? Tentu saja ini adalah hak prerogarif Presiden Jokowi.

Namun, reshuffle kabinet saat ini memang banyak di harapkan oleh publik mengingat seringnya kegaduhan yang muncul dari sejumlah kementrian. Ketimbang habis waktu untuk marah-marah, mending Presiden melakukan reshuflle.

Dari Gerindra ada tiga nama yang pas untuk dipilih masuk ke dalam jatah kabinet pasca mundurnya Edhy Prabowo, yaitu Sandiaga Uno, Sufmi Dasco, dan Ahmad Muzani. Ketiga kader Gerindra ini dikenal sangat bagus kompetensi dan personal brandingnya.

Tak hanya itu, Sandiaga Uno, Sufmi Dasco, dan Ahmad Muzani punya komunikasi publik yang baik. Resistensi terhadap ketiga tokoh ini pun kecil. Bisa dibilang kegaduhan dan kontroversi tidak akan muncul dari ketiga orang ini, jika salah satunya masuk ke dalam kabinet.

Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Partai Gerindra dengan kinerja mumpuni dari kadernya di kabinet Indonesia Maju. Partai Gerindra diprediksi bisa bertahan. Prabowo Subianto juga masih akan tetap kuat. Nahkoda tangguh itu tidak lahir di lautan yang tenang, tapi lahir di laut yang penuh dengan ombak dan badai.

Igor Dirgantara, Dosen Fisip Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling Indonesia (SPIN)