News  

Natalius Pigai Desak RUU Anti Terorisme Disahkan

Natalius Pigai RUU Anti Terorisme

Maraknya aksi terorisme di berbagai tempat telah memancing reaksi publik. Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan dan Komisioner Komnas HAM 2012-2017 meminta agar semua komponen bangsa menyambut positif permintaan penegak hukum untuk pentingnya revitalisasi regulasi yang mengatur tentang pemberantasan terorisme.

Selama ini, Aparat kepolisian dibantu berbagai komponen telah bekerja baik untuk melindungi rakyat Indonesia, namun belum bisa maksimal memberi jaminan keamanan ketertiban.

Alasan Natalius, karena regulasi induk yang mengatur anti terorisme nomor 15 tahun 2003 belum memberi kewenangan penuh baik pra, saat dan paska tindakan terorisme.

Dikatakannya, ada beberapa pasal penguatan yang perlu mendapat perhatian dan memberi kewenangan kepada kepolisian yakni adanya kewenangan penuh bagi kepolisian untuk melakukan penyadapan.

“Lembaga intelijen negara tentu diperbolehkan untuk memasok informasi bagi aparat penegak hukum. Lembaga intelijen negara mesti menghindari keterlibatan langsung dalam proses penegakan hukum atau kepolisan diberi ruang untuk menangani terorisme perlu diberi kewenangan penyadapan,” kata Natalius.

Dia menambahkan, surat penahanan dan bukti keterlibatan saat penangkapan tentu diperlukan, karena merupakan prinsip umum dalam peradilan pidana (criminal justice system) di seluruh dunia. Meskipun demikian, aparat perlu diberi kewenangan lebih fleksibel asal mampu mempertahankan dan meyakinkan publik.

Dia mengusulkan, agar perpanjangan masa tahanan teroris dari 7 hari berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2003 menjadi 14 dan 21 dalam RUU Anti Terorisme bisa dimaklumi asal ada pengawas internal dan eksternal ikut memantau ketika masa tahanan.

“Saya usul demikian karena Guantanamo saja tidak 100 % terisolir tetapi Pemerintah USA lalukan pengawasan. Maka soal waktu penahanan tidak perlu diperdebatkan. Adanya kerisauan publik bahwa akan terjadi potensi pelanggaran HAM, tentu bisa dikontrol apabila ada pengawasan internal dan eksternal berfungsi efektif,” ujarnya.

Lebih lanjut, Natalius mengatakan, bagi foreign teroris fighters atau para eks kombatam melalui pencabutan kewarganegaraan bisa saja dilakukan. Namun mereka berpotensi menjadi warga tanpa negara (stateless).

Menurut dia, sebaiknya lebih dahulukan proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Bahkan juga amanat UUD 1945 telah menegaskan perlindungan terhadap warga negara dan tanah tumpah darah.

Ditegaskan aktivis kemanusiaan ini, sebaiknya TNI tidak perlu dilibatkan dalam menangani terorisme, apalagi penegakan hukum yang merupakan ranah kepolisian.

Undang-undang TNI bertugas untuk mempertahankan NKRI khususnya terhadap ancaman pertahanan (external securiti) penugasan luar negeri dan juga insurgensia domestik.

“Soal terorisme adalah ancaman keamanan (internal order) yang merupakan ranah penegak hukum,” pungkasnya.

Natalius berpandangan, deradikalisasi bagi teroris dilakukan baik soal peningkatan kapasitas sosial ekonomi, tapi juga merubah pemahaman doktrin dari boleh membunuh menjadi humanis dan toleran.

“Dengan demikian, saya mendesak DPR dan Pemerintah harus merespons positif untuk mengesahkan RUU Anti Terorisme tersebut,” kata Natalius Pigai.