Komentari Kasus Desa Wadas, Lasarus: Riuh Sekali! Cari Material Kok Maksa Orang Yang Punya Lahan?

Ketua Komisi V DPR RI Lasarus meminta agar kontroversi pemaksaan pengambilalihan lahan warga untuk proyek bendungan Bener di Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, segera dihentikan.

Hal itu dia sampaikan langsung kepada eselon I Kementerian PUPR saat rapat kerja bersama.

Lasarus mencontohkan, di Kalimantan penyelesaian pembangunan jalan bisa selesai tanpa perlu pemaksaan. Hal serupa seharusnya bisa dilakukan di Desa Wadas.

“Sampai aparat berbondong ke sana, tidak elok pak dilihat masyarakat. Malu lah kita pak sampai begitu amat, mohon izin dihentikan lah pak riuh rendah ini, cari tempat lain,” imbuh Lasarus saat rapat kerja bersama dengan Kementerian PUPR, Selasa (15/2/2022).

Lasarus mempertanyakan alasan mengambil material batu andesit di Desa Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener. Menurutnya, pengambilan material tidak hanya dari desa tersebut.

“Masalah Wadas ini riuh sekali, cari material kok maksa orang? Ini orang punya tanah, punya lahan, kenapa kok jadi dipaksa pak. Kan bukan cuma di situ materialnya,” ujar Lasarus.

Lasarus menerangkan, proyek tambang andesit di Desa Wadas ke lokasi utama proyek pembangunan Bendungan Bener jauhnya mencapai 10 kilometer.

Sebelumnya di rapat yang sama, Dirjen SDA Jarot Widyoko menjelaskan Desa Wadas menjadi satu di antara bidang yang akan dibebaskan dalam struktur proyek Bendungan Bener.

Terkait ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sembilan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) aparat kepolisian selama mengawal pengukuran lahan tambang di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 8-10 Februari lalu.

Warga Desa Wadas menolak pembukaan lahan tambang andesit di desanya sejak 2017. Batuan andesit di desa tersebut akan dikeruk untuk bahan baku proyek pembangunan Bendungan Bener di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional (PSN) pemerintah.

Ganjar dan Mahfud MD Dinilai Menutup-nutupi

Sementara itu, Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan, Sudirman Said menyayangkan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo soal insiden di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, yang dinilai menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya di Desa Wadas.

“Pada saat saya melihat itu, pasti ada yang salah dan terlebih lagi seketika melihat penjelasan Pak Menko Mahfud dan juga Pak Gubernur Ganjar ada kecenderungan menutupi keadaan,” ujar Sudirman dalam diskusi publik ‘Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan’, Selasa (15/2/2022).

Menurut Sudirman, seharusnya Mahfud dan Ganjar meredam emosi publik atas insiden Wadas, bukan justru menutupi keadaan. Mahfud dan Ganjar, juga dinilainya menyederhanakan masalah. Padahal, insiden di Wadas itu sangat rumit.

“Padahal, dalam krisis manajemen itu, yang pertama-tama kita mesti menjelaskan apa adanya. Karena semakin ditutupi, letupan-letupan berikutnya semakin kredibilitas dari si pengelola krisis makin turun,” kata mantan Menteri ESDM itu.

Karena itu terlihat betul begitu datang Komisi III DPR dan Komnas HAM, ternyata situasi begitu rumit. “Dan itu jelas sekali ada saluran komunikasi yang tersumbat,” imbuhnya.

Di sisi lain, Sudirman menduga, ada informasi yang tidak ditanggapi dengan baik oleh para pengambil keputusan, baik di skala Jawa Tengah maupun nasional.

“Kita memang harus mendukung proses pembangunan karena pembangunan itu adalah salah satu cara memajukan rakyat,” tuturnya.

Sudirman menyebut, peristiwa di Desa Wadas dapat menjadi refleksi mengenai tujuan pembangunan yang mengedepankan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan melindungi sesama.

Kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, itulah tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

“Tujuan bernegara kita ingin mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu tujuan utama dari bernegara, caranya dengan sila keempat, dengan bermusyawarah, berdemokrasi, kemudian musyawarah tidak mungkin dilakukan tanpa semangat bersatu.

Maka kita pegang teguh persatuan Indonesia, kemudian persatuan hanya mungkin apabila di antara kita, saling menghargai aspek kemanusiaan, karena itu sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab,” katanya.

Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan, masalah tambang batu andesit di Desa Wadas membuat warga terpecah belah menjadi dua sisi, antara pro dan kontra.

Selain itu, di sisi lain, warga Desa Wadas juga menurutnya sedikit trauma dan banyak yang tidak berani pulang ke rumah mereka.

“Saya tidak melihat mana yang lebih besar, mana yang lebih sedikit, tetapi bagaimana kemudian suara-suara warga kita didengar kemudian kita lindungi haknya,” ungkap Beka.

Sementara Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan bahwa pihaknya sudah meminta ke Gubernur, bahwa hak kepemilikan harus diakui, walaupun dalam UU Agraria Pasal 18 sudah diatur mengenai kepentingan bangsa negara dan masyarakat.

“Hak kepemilikan itu bisa dicabut, tapi harus diingat, hak kepemilikan tidak hanya kepemilikan semata, tapi di situ ada unsur psikologis emosional di dalamnya, sehingga tidak bisa pendekatannya sok kuasa,” katanya.

Nasir juga menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif lain, dan untuk menghormati hak masyarakat yang ada di Wadas tersebut.

“Kalau warga sudah menolak, alihkan ke tempat lain, hormati kemauan rakyat karena mereka ingin menjaga alam mereka,” sarannya.

Sementara Dedi “Miing” Gumelar menyatakan, orang-orang di Desa Wadas saat ini tidak dijaga rasa amannya. Padahal, itu hak dasar dari warga negara Indonesia (WNI) yang harus dilindungi.

“Kalau sekarang mereka takut, berarti pemerintahan dari level bawah sampai atas melakukan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya. {tribun}